Tuesday, July 13, 2010

Jatim Investasikan Rp 5 M untuk Pengembangan Mocaf

Potensi ubi kayu yang cukup tinggi di Jatim, menarik minat pemerintah pusat untuk mengalokasikan anggaran dalam pengembangan komoditas tersebut. Tahun 2010 pemerintah pusat mengalokasikan dana Rp 5 miliar untuk pengembangan tepung mocaf di Jatim. Dana tersebut dilakukan dalam bentuk pemberdayaan dan pembangunan pabrik pengolah tepung mocaf (modified cassava flour) yang berbasis industri rumah tangga.

Kabid Pemasaran dan Pengolahan Hasil Dinas Pertanian Jatim, Ir Bambang Herianto di kantornya, Rabu (30/12) mengatakan, dana tersebut nantinya akan dilakukan untuk pengembangan mocaf di Kabupaten Trenggalek dan Malang. Dipilihnya dua kabupaten tersebut karena saat ini banyak ditemui sentra-sentra pengembangan tepung moca yang berbasis industri rumah tangga.

Mocaf adalah produk tepung dari ubi kayu yang diproses dengan prinsip memodifikasi sel ubi kayu, sehingga hasilnya berbeda dengan tepung gaplek ataupun tepung ubi kayu. Tepung mocaf dapat digunakan untuk membuat kue kering, cake, bihun, dan campuran produk lain berbahan baku gandum atau tepung beras. Hasil produk berbahan mocaf ini tidak jauh berbeda dengan produk yang menggunakan bahan tepung terigu maupun tepung beras.

Keberadaan tepung mocaf sebagai alternatif dari tepung terigu akan bermanfaat bagi industri pengolahan makanan nasional. Jenis dan karakteristik yang hampir sama dengan terigu, namun dengan harga yang jauh lebih murah membuat tepung mocaf menjadi pilihan yang sangat menarik. Berbagai jenis produk olahan tepung terigu bisa diganti oleh tepung mocaf, sehingga membuat transisi penggunaan tepung terigu kepada tepung mocaf tidak sulit untuk dilakukan.
Industri Mocaf terbukti telah mampu meningkatkan kesejahteraan petani ubi kayu di daerah Kabupaten Gunung Kidul, DIY dan Kabupaten Trenggalek, Jatim. Produksi mocaf di Kabupaten Trenggalek antara Juni-Oktober 2008 rata-rata telah mencapai 100 ton per bulan. Saat ini industri mocaf juga telah dikembangkan di Provinsi Sumatera Barat.

Dikatakannya, keberadaan Jatim sebagai propinsi urutan kedua sebagai produsen ubi kayu terbesar setelah Provinsi Lampung, juga tidak terlepas dari upaya pemanfaatan komoditas tersebut menjadi komoditas yang siap dimanfaatkan siap pakai. Tahun 2009, potensi ubi kayu di Kabupaten Trenggalek mencapai 407.315 ton dan Ponorogo 402.353 ton.

Pemanfaatan ubi kayu sudah dijumpai dalam berbagai produk produk olahan, di antaranya dalam bentuk bahan setengah jadi, ubi kayu diolah menjadi tepung tapioka, tepung singkong (kasava), gaplek dan oyek. Investasi Rp 5 miliar pada moca adalah dimaksudkan sebagai salah satu proses alternatif produk setengah jadi yang dianjurkan, karena lebih tahan lama disimpan, mudah dicampur, diperkaya zat gizi, dibentuk dan lebih cepat dimasak sesuai tuntutan kehidupan modern yang serba praktis.

Ubikayu mempunyai potensi baik untuk dikembangkan menjadi bahan pangan pokok selain beras, ubi kayu umum dikonsumsi dalam bentuk ubi rebus, tiwul/gaplek maupun sebagai campuran beras dalam bentuk oyek. Penggunaan ubi kayu sebagai campuran beras ditemukan di sebagian Jatim, Sumatera dan Kalimantan. Ubi kayu dimanfaatkan untuk substitusi beras terutama di kalangan penduduk miskin di musim paceklik dimana harga beras relatif tinggi.
Tahun 2010, Jatim menargetkan surplus ubi kayu mencapai 4 juta ton. Dari surplus tersebut, pemanfaatan ubi kayu sebagai bahan baku industri selain makanan olahan akan lebih leluasa, seperti bahan baku pembuatan bioethanol. Surplus tersebut dicapai dari ketersediaan sebesar 4.670.817 ton. Dari jumlah tersebut, setelah dikurangi konsumsi sebesar 732.717 ton, diperoleh surplus sebesar 3.938.100 ton.

Target surplus tersebut dicapai dari pengembangan pada lahan seluas 239.760 ha. Lahan-lahan tersebut tersentra di enam kabupaten, antara lain Kabupaten Pacitan 37.000 ha, Ponorogo 23.000 ha, Trenggalek 20.000 ha, Sampang 17.000 ha, Malang 20.000 ha, dan Sumenep 16.000 ha.

Sumber : http://kominfo.jatimprov.go.id
Enhanced by Zemanta

No comments:

Post a Comment